“Mencintai Kebijaksanaan”
Salah seorang filsuf Yunani berujar apakah Anda tidak malu dengan memiliki uang yang banyak hanya untuk ketenaran dan prestise tetapi Anda tidak berpikir atau peduli tentang kebijaksanaan dan kebenaran serta peningkatan jiwa Anda? Dia adalah Sokrates sebagai orang yang menurunkan filsafat pada muridnya Plato dan muridnya Plato bernama Aristoteles. Pertanyaan dari Sokrates walaupun sudah ribuan tahun silam diucapkan namun relevansinya tidak sirna ditelan waktu. Mengapa? Karena kalau kita mau kilas balik pada sejarah maka salah satu sumber pemicu orang-orang mau menindas atau menjajah orang lain adalah kekayaan.
Bahkan Belanda saja menjajah Indonesia memiliki salah satu motifnva adalah kekayaan. Ini merupakan suatu bukti dari sejarah dan juga tetap relevan hingga sekarang,Orang-orang zaman sekarang tidak segan-segan juga mendapatkan kekayaan yang mana wujud konkretnya adalah uang menggunakan berbagai cara tidak beretika. Oleh sebab itu tidak salah apabila kita mau memperdalam kebijaksanaan sebagai suatu solusi
atas menurunnya moral manusia. Filsafat berarti
mencintai kebijaksanaan yang mana orang-orang yang berfilsafat disebut sebagai filsuf. Banyak filsuf ternama sejak zaman dahulu hingga sekarang ini yang mana sering disebut-sebut sebagai zaman postmodern.
Mencintai kebijaksanaan berarti kita sadar bahwa hidup ini dilalui berlandaskan pada nilai-nilai hidup atau menurut jargon Aristoteles sebagai virtue value. Terkait dengan kebijaksanaan ini yang merupakan benih dari pembentukan karakter merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa abaikan. Mengapa? Karena pembentukan manusia berkarakter merupakan suatu perbuatan dan usaha yang mulia. Saya bukanlah mau sok tahu tentang keagamaan namun saya yakin bahwa setiap agama memuat nilai-nilai pembentukan karakter pada penganutnya dan hal ini semakin mengokohkan keberadaan karakter sebagai sesuatu yang tidak tergantikan oleh apa pun
Walaupun zaman mengalami perubahan namun keberadaan karakter tetaplah dibutuhkan untuk kelangsungan keberadaan manusia sampai kapan pun.
Didorong oleh kesadaran itulah maka mencintai kebijaksanaan yang tertuang dalam pembentukan karakter bagus menjadi sesuatu yang tidak bisa dibeli atau ditukar melainkan sebagai suatu perjuangan untuk membentuk karakter. Suatu esensi kehidupan yang tiada tergantikan dan tidak bisa seseorang memberikan kepada orang lain melainkan dialah yang harus menjalaninya sendiri. Begitulah kalau kita mau memiliki kebijaksanaan.
lbaratnya perjalanan sejauh 1000 meter harus dijalani sendiri oleh kita apabila mau menjadi bijak dan hal ini tidak bisa menyuruh orang lain yang melakukan perjalanan. Kalau kita menyadari hal ini maka kita telah membentuk hidup kita menjadi bermakna dan bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, manusia yang haus akan kebijaksanaan tidak akan pernah lelah untuk berusaha menemukan kebijaksanaan yang mana hal itu tidak berada di luar dirinya melainkan berada dalam dirinya.
Perenungan mendalam merupakan suatu perbuatan yang wajib dilakukan dan kerendahan hati yang dibutuhkan untuk mengenal diri, orang lain, alam semesta dan juga Sang Pencipta. Kita tidak bisa hanya hidup dengan fokus pada diri sendiri melainkan bagaimana kita memahami dan melakukan peran kita dalam korelasi dengan orang lain, alam semesta dan juga Sang Pencipta. Kalau kita menerima diri apa adanya maka kita akan berhasil dan terus mengasah kebijaksanaan kita Tiada lain karena kita merupakan manusia yang bukan saja hidup karena ada makan atau minum sehingga bisa hidup melainkan juga karena
kebijaksanaan. Tanpanya maka kehidupan ini hanyalah panggung sandiwara. untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan dan proses dehumanisasi pun akan terjadi, Suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri melainkan diterima bahwa kita membutuhkan kebijaksanaan dalam hidup ini.
Kalau kita mau menjadi pribadi yang bijak maka sebelumnya kita perlu mengenal siapa diri kita dan apa kelebihan serta kekurangan kita sehingga dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan kelebiharn dan potensi kita serta mengikis kekurangan kita. Dengan ini maka kita sadari bahwa kita telah masuk dalam usaha menjadi bijak. berusaha dan terus berusaha. Bak pepatah mengatakan: “don't ever give up and keep on trying” Bakarlah semangat kita untuk menemukan
kebijaksanaan, supaya kita tidak terjebak dalam cara-cara tidak etis. Kita sebaiknya memberikan kehidupan kita dengan hal-hal yang bijaksana dan bukannya mengisi dengan perbuatan yang sia-sia
Memang benar bahwa kehidupan ini juga sering menawarkan kita berbagai kesempatan untuk menjadi tidak bijak. Namun seperti yang dijelaskan
Untuk memperkokoh maksud saya tentang arti pentingnya bijaksana dalam kehidupan kita, simaklah kisah tentang pelita berikut ini :
“Pada suatu malam seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya.
Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata
"Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok." Dengan lembut sahabatnya menjawab, "lni agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu."
Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa
pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu. Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas,
"Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!"
Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu,
penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta." Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan Masing-masing.
selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang
buta. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?"
Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama." Dalam perjalanan Senyap sejenak. secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "lya.," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling
membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan. Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut.
la pun berlalu, tanpa mengetahui
bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan
Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan.
Dalam perjalanan "pulang", sibuta belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. la menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. la juga belajar menjadi pemaaf, Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta'" walaupun mereka bisa melihat. Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadı guru guru terbaik untuk kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta,
sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita
menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadari akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan,Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri
kita sendiri dan sekitar kita.
Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan:
Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dain nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi. Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Pikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.
Bagaimana sahabat, apakah kita semakin paham
tentang kebijaksanaan? Menjadi pribadi yang bijak
bagaikan lentera yang akan menerangi kehidupan
sehingga mengenal sesuatu yang benar dan salah. Tanpa kebijaksanaan maka gelaplah kehidupan kita yang berarti hidup menjadi tidak bermakna dan yang ada hanya keserakahan. Oleh sebab itu, jadilah bijak.
Sumber: buku peter garland " jangan menjadi budak uang"
Terimah kasih, Semoga bermanfaat...!